Unsur-Unsur Hukum Syara
A. Hukum
1.
Pengertian
Hukum Syara’
Pengertian
hukum secara etimologis, yaitu memimpin, memerintah, menetapkan, memutuskan,
dan mencegah. Sedangkan secara terminologis, menurut jumhur ushuliyyiin,
hukum yaitu: “khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf,
baik berupa iqtida’ (perintah,larangan,anjuran untuk mengerjakan atau
anjuran untuk meninggalkan), takyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadhi’ (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang)”.[1]
Menurut
fuqaha, pengertian hukum adalah: “Tuntutan dari khitab (firman) Allah
yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan seorang mukallaf.”
Khitabullah
yang dimaksud dalam definisi di atas ialah kalam Allah. Kalam Allah adalah
hukum baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an,atau secara tidak
langsung seperti hadis-hadis hukum dalam sunnah Rasullullah SAW yang mengatur
amal perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak
langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah SAW di bidang tasyri’
tidak lain adalah petunjuk Allah juga.[2]
Hal ini sesuai firman Allah dalam surah an-Najm(53): 3-4
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Kedua
ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak mengucapkan
sesuatu kecuali berdasarkan wahyu. Sedangkan menurut fuqaha, definisi
hukum adalah suatu karakter (sifat) yang merupakan implikasi dari kitab
tersebut. Dalam pengertian hukum, terdapat perbedaan terminologi, para ushuliyyin
menjadikan hukum sebagai ilmu tentang khitab syar’i (Allah), yang
menuntut mukallaf untuk berbuat atau tidak, atau khitab itu menjadi suatu
sebab, syarat atau penghalang atas suatu
perbuatannya.[3]
Seperti firman Allah surah al-Baqarah(2) 43:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'.”
Ayat
tersebut menuntut secara wajib seorang mukallaf untuk mengerjakan shalat
dan membayar zakat.
Surah al-Isra’(17) 32:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
Ayat
tersebut menuntut seorang mukallaf tidak melakukan perbuatan zina. Tuntutan
meninggalkan dalam ayat tersebut berstatus haram.
Surah al-Jumu’ah
(62): 9:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Artinya :
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ayat
tersebut melarang untuk melakukan jual beli pada hari jum’at ketika azan sudah
dikumandangkan. Larangan tersebut berstatus makruh. Semua teks ayat di atas
merupakan ketetapan hukum. Adapun menurut fuqaha, hukum itu adalah sifat
yang merupakan implikasi dari kitab tersebut, seperti kewajiban sholat,
keharaman zina, dan kemakruhan jual beli waktu azan jumat dikumandangkan.
Sedangkan kata syara’ secara harfiyah artinya membuat peraturan,
undang-undang, membuka, memulai, menjelaskan, menerangkan, jalan ke tempat mata
air, atau tempat yang dilalui air sungai, atau peraturan,[4]
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S al-Jatsiyah(45):18:
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèΰ z`ÏiB ÌøBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù wur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# w tbqßJn=ôèt ÇÊÑÈ
Artinya :
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.”
Menurut
Faruq Nabhan, secara istilah, syara’ berarti “segala sesuatuyang
disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sedangkan menurut Manna’ Al-Qathan, syara’
berarti “segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik
menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu’amalah”. Dari beberapa definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa syara’ itu identik dengan pengertian diin
(agama). Walaupun pada mulanya syara’ diartikan dengan diin
(agama), tetapi kemudian ia dikhususkan untuk hukum ‘amaliyah.
Pengkhususan ini untuk membedakan antara agama dengan syari’ah, karena
pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syari’ah
berbeda antara satu umat dengan umat lainnya. Qatadah, menurut yang
diriwayatkan oleh Thabari, mengkhususkan lagi pemakaian kata syari’ah
untuk hal-hal yang menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah, dan larangan.
Beliau tidak memasukkan akidah, hikmah-hikmah, dan ibarat-ibarat yang tercakup
dalam agama ke dalam syara’.[5]
Dalam
perkembangan selanjutnya kata syara’ tertuju atau digunakan untuk
menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh al-Qur’an dan
Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad).
Dalam
terminologi ulama Ushul Fiqh, syariat adalah titah (khitab) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf (Muslim, baligh, dan berakal sehat), baik
berupa tuntutan,pilihan, atau perantara (sebab, syarat atau penghalang). Jadi
konteksnya adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (‘Amaliyah). Adapun
pengertian hukum syara’ secara definitif menurut Abu Zahrah, ialah ketetapan
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
berupa iqtidha’ (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat).[6]
Yang
dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Seperti hukum
haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, dan halangan (mani’).
a.
Pembagian
Hukum Syara’
Dalam penjelasan di atas, secara garis besar ulama Ushul Fiqh membagi
hukum syara’ kepada dua[7],
yaitu:
1)
Hukum
Taklifi
Hukum taklifi yaitu ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah
yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk
perintah (anjuran untuk melakukan), larangan (anjuran untuk tidak melakukan)
atau dalam bentuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat.[8]
2)
Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i ialah khitabullah yang Ia menjadikan sesuatu
itu sebagai sebab, syarat dan mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi), sah, dan fasad (rusak).[9]
b.
Pembagian
Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi kepada lima macam yaitu wajib, sunnah,
mubah, makruh, dan haram.[10]
1) Ijab/Wujub/Wajib
Secara etimologi wajib berarti harus dan mesti. Adapun wajib secara
terminologi menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu: “Sesuatu yang dituntut oleh syar’i
(Allah dan Rasul-Nya) untuk dikerjakan oleh seorang mukallaf dengan
tuntutan yang harus/mesti”.
Pembagian
Wajib:
a)
Dari
segi waktu yaitu muasa’ dan mudoyyak, contoh: sholat dan kifarat
b)
Dari
segi perintah melaksanakan yaitu ‘ain dan kifayah, contoh: sholat
fardhu dan mengurus jenazah
c)
Dari
segi ukuran yaitu muhaddad (terbatas) dan ghoir muhaddad (tidak
terbatas), contoh: zakat, rakaat shalat, tolong menolong, sodaqoh dll.
2) Nadb/Sunnah
Nadb/Sunnah ialah
tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Nadb/Sunnah
terbagi menjadi tiga yaitu:
a)
Sunnah
muakkadah (diutamakan/dianjurkan), contoh:
shalat jamaah, azan, dll
b)
Sunnah
zaidah atau nafilah (tambahan),
contoh: puasa senin kamis, shalat tahajud, sodaqoh dll
c)
Sunnah
mustahab atau fadilah (pelengkap),
contoh: cara tidur dan cara berpakaian Rasulullah SAW.
3) Haram/Tahrim
Haram/tahrim ialah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari perbuatan ini disebut
hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Haram/tahrim
dibagi menjadi 2, yaitu:
a) Haram
lidzatihi ( semula, asal ), contoh: zina, mencuri dll.
b) Haram
lighoirihi ( karena sesuatu yang baru ), contoh: jual beli dengan
penipuan, menikah untuk menyakiti dll.
4)
Makruh/Karahah
Makruh/karahah ialah tuntutan
untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui
redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan
itu tidak dikenai hukuman. Makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
a)
Makruh
Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh
syariat tetapi dalil yang melarangnya itu tidak bersifat pasti. Contoh:
larangan meminang wanita yang sudah dipinang
b) Makruh
Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan
syariat untuk meninggalkannya. Contoh: memakan daging kuda dan meminum susunya
pada waktu sangat butuh di waktu perang.
5)
Mubah/Ibahah
Mubah/ibahah ialah suatu perbuatan yang boleh dipilih untuk dilaksanakan
ataupun untuk ditinggalkan. Mubah dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang
wajib dilakukan. Contoh: makan dan minum sesuatu yang mubah berfungsi untuk
mengantarkan seseorang sampai ia mengerjakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya.
b)
Sesuatu
dianggap mubah apabila dilakukan sekali, tetapi haram hukumnya bila
dilakukan setiap waktu. Contoh: bermain dan mendengar nyanyian hukumnya mubah
jika dilakukan sesekali, namun menjadi haram jika dilakukan terus menerus.
c) Sesuatu
yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah
pula. Contoh: membeli perabotan rumah untuk kepentingan kesenangan.
c.
Pembagian
Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i terbagi menjadi 7,[11]
yaitu :
1)
Sebab,
adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.
2) Syarat,
adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya.
3)
Mani’, adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau
tidak ada sebab.
4)
Azimah, adalah sesuatu yang disyariatkan olehAllah sebagai asal dari
hukum yang umum dengan keadaan selain keadaan itu dan tidak dengan mukallaf
selain mukallaf itu.
5) Rukhsoh, adalah sesuatu hukum yang disyariatkan Allah sebagai keringanan
yang diberikan kepada mukallaf dalam keadaan tertentu yang menuntut keringanan
tersebut.
6)
Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu
terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
7)
Bathil, adalah terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan
dan tidak ada akibat hukumyang ditimbulkannya.
B. Al-Hakim (Yang Menetapkan
Hukum/Pembuat Hukum)
1. Pengertian
Kata
hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam istilah Fiqh
kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan sama
maknanya dengan qadhi.
Ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber dan pembuat hakiki dari hukum
syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukkan oleh al-Qur’an surah al-An’am ayat 57
:[12]
4... ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# wÎ) ¬! ( Èà)t ¨,ysø9$# ( uqèdur çöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
Artinya : “...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik.”
Meskipun
para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah, namun mereka
berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat
diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya rasulullah, atau akal secara
independen bisa juga mengetahuinya. Perbedaan pendapat ini berpangkal dari
perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu
hal.
2. Baik dan
Buruk
Perbedaan
pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian Ushul Fiqh berasal dari perbedaan
pendapat di kalangan para ahli ilmu kalam. Dalam hal ini terdapat beberapa
pendapat :
a.
Kalangan
Mu’tazilah
1)
Perbuatan
yang sifat baik atau buruknya bersifat esensial. Berkata benar sepanjang
esensinya adalah baik, dan berbohong sepanjang esensinya adalah buruk.
Demikianlah halnya sifat-sifat terpuji, sepanjang esensinya adalah baik
sehingga akal pikiran manusia mampu menyatakan bahwa hal itu adalah baik setiap
kali menyaksikannya. Begitu pula dengan sifat tercela, sepanjang esensinya
adalah buruk sehingga akal pikiran mampu menyatakan bahwa hal itu adalah buruk
bila menyaksikannya.[13]
Singkatnya menurut mereka bahwasannya akal mungkin saja mengetahui hukum Allah
tentang perbuatan, tanpa perantara para rasul dan kitab-kitab suci. apa yang
diketahui oleh akal itu baik, maka itu adalah perintah Allah dan diberi pahala
orang yang mengerjakannya dan apa yang diketahui oleh akal itu buruk, maka itu
adalah larangan Allah, dan disiksa orang yang mengerjakannya. Prinsip mazhab
ini adalah akal dapat mengetahui baik dan buruk, meskipun para rasul belum di
utus dan belum ada syari’at yang mengaturnya.[14]
2)
Perbuatan-perbuatan
yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan buruknya, seperti ibadah
dan cara-caranya, dalam hal ini secara mutlak diperlukan wahyu untuk mengetahui
baik dan buruknya.[15]
b.
Kalangan
Asy’ariyah
Berpendapat
tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk adalah
sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik
atau buruk adalah perintah atau larangan Allah, akal tidak punya kewenangan
untuk menetapkan baik atau buruknya sesuatu. Sesuatu dikatakan baik karna wahyu
menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karna wahyu menilainya
buruk. Oleh sebab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif bagi
manusia. Dan oleh karena itu belum ada pertimbangan dosa dan pahala bagi suatu
tindakan.[16]
Dalil yang digunakan oleh mazhab ini adalah firman Allah dalam Q.S. al-Isra’
(17) : 15
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya :
“Barang
siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat
itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab
sebelum kami mengutus seorang rasul.”
c.
Kalangan
Maturidiyah
Kalangan
ini berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan ada pula yang buruk menurut esensinya. Disamping itu, ada pula
hal-hal yang tidak diketahui oleh akal baik dan buruknya. Menurut pendapat ini,
meskipun akal pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, namun
umat manusia tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti kesimpulan akal
pikirannya itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan pahal mutlak hanya
dapat diketahui dengan wahyu. Menurut aliran ini akal semata tidak dapat
dijadikan landasan hukum. Setiap ketetapan hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.[17]
Dari
keterangan di atas jelaslah bahwa menurut kalangan Maturidiyah dan Asy’ariyah
bahwa yang menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah semata dan bahwa akal
tidak punya kewenangan dalam hal tersebut. Akal hanya sebagai alat untuk
memahami wahyu Allah. Bedanya dengan kalangan Mu’tazilah adalah, akal menjadi
sumber hukum dalam hal-hal yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an.
C. Mahkum Fih
1. Pengertian
Mahkum fih berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan
hukum syara’[18]
atau perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif/pembebanan.
Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia dalam setiap
perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain adalah sebagai
bentuk uji coba/ibtila’ dari Allah kepada para hambanya supaya dapat
diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat
kepadanya. Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah
perbuatan.[19]
2. Macam-Macam Mahkum
Fih
Dilihat dari
segi keberadaannya secara material dan
syara’, mahkum fih terdiri dari 4 macam,[20] yaitu
:
a.
Perbuatan
yang ada secara material, tetapi tidak terkait dengan syara’ (tidak
menimbulkan akibat hukum syara’), seperti makan dan minum.
b.
Perbuatan
yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman seperti
pembunuhan menjadi sebab adanya hukuman qisas.
c.
Perbuatan
yang ada secara material, dan baru bernilai syara’ apabila memenuhi
rukun dan syarat, seperti sholat dan haji.
d.
Perbuatan
yang ada secara material dan diakui syara’ serta mengakibatkan munculnya
hukum syara’ yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan
seks, keajiban nafkah.
3.
Syarat-Syarat Mahkum Fih
a.
Perbuatan
itu diketahui secara sempurna oleh mukallaf sehingga ia mampu
mengerjakan perintah Allah secara lengkap. Misalnya mendirikan sholat. Nash
al-Qur’an dan Hadits telah menjelaskan tentang rukun, syarat, dan tata cara
sholat.[21]
b.
Diketahui
secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak
yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasulnya.[22]
c.
Perbuatan
yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas
kemampuan manusia untuk melakukan untuk melakukan atau meninggalkannya.[23]
D. Mahkum
‘Alaih
1. Pengertian
Menurut
Syaikh Muhammad Khudari Beik, mahkum ‘alaih yaitu mukallaf (orang
yang dibebani hukum atau subjek hukum). sedangkan definisi mahkum ‘alaih
menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu seorang mukallaf yang berhubungan
dengan kemampuan mengerjakan hukum syari’.[24]
2. Persyaratan Mahkum
‘Alaih
Seseorang baru
dianggap layak dibebani hukum taklifi bilamana pada dirinya terdapat
beberapa persyaratan :
a.
Mampu
memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain
minimal sebatas memungkinnya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits
Rasulullah.[25]
b.
Seseorang
itu diharuskan mampu dalam bertindak hukum atau memikul beban taklif, dalam
ushul fiqh disebut ahliyah. Dalam penjelasan lain seseorang harus ahlan
lima kullifa bihi/cakap atas perbuatan yang ditaklifkan kepadanya. Ulama
ushul fiqh membagi jenis ahliyah ini menjadi dua bagian yaitu :[26]
1)
Ahliyah
al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk
menerima hak dan kewajiban. Pijakan utama dari konsep ini adalah adanya
kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka orang tersebut bisa disebut ahliyah
al-wujud. Ahliyah ini terbagi dua, yaitu :
a)
Ahliyah
al-Wujud Naqishah, yaitu jika
seorang itu cakap untuk menerima hak saja bukan kewajiban, atau sebaliknya.
Contoh menerima hak saja seperti janin yang masih berada dalam kandungan
ibunya. Ia masih bisa menerima hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa
menerima kewajiban yang dibebankan kepadanya. Contoh menerima kewajiban saja
seperti orang yang mati tetapi masih meninggalkan utang.
b)
Ahliyah
al-Wujud Kamilah, yaitu ketika
seorang itu mampu menerima hak sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada
setiap manusia. Contohnya seorang bayi dipandang mampu menerima hak, seperti
warisan sekaligus dipandang mampu
dikenai kewajiban tertentu seperti zakat fitrah.
2)
Ahliyah
al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang dalam
bertindak. Artinya tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan,
secara syariat telah dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an). Terkait konsep
ini, manusia terbagi menjadi tiga jenis,[27]
yaitu :
a)
Adimul
Ahliyah li al-Ada’, yaitu
seseorang yang tidak memiliki kecakapan untuk bertindak sama sekali seperti
orang gila dan manusia sejak lahir hingga umur 7 tahun.
b)
Ahliyah
al-Ada al-Naqishah, yaitu seseorang
yang memiliki kecakapan dalam bertindak namun belum sempurna, seperti anak
mumayyiz yang belum sampai pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh).
c)
Ahliyah
al-Ada’, yaitu seseorang yang mempunyai
kecakapan bertindak secara sempurna seperti seorang yang telah berakal dan
baligh.
[1] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 21-22
[2] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 22
[3] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 23
[4] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 26-27
[5] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 27-28
[6] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 28-29
[7] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 31
[8] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 31-32
[9] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 33-34
[10] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 35
[11] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 54
[12] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 68
[13]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 69
[14] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 82
[15]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 70
[16] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 72
[17] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 72
[18]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 73
[19]
Selvianti Kaawoan, Memahami Ushul Fiqh, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015),
hlm. 87
[20] Selvianti
Kaawoan, Memahami Ushul Fiqh, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015), hlm. 90
[21] Mardani,
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 83-84
[22]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 74
[23]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 74
[24]
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2013), hlm. 84-85
[25]
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 75
[26]
Selvianti Kaawoan, Memahami Ushul Fiqh, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015),
hlm. 91-92
[27] Selvianti
Kaawoan, Memahami Ushul Fiqh, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015), hlm. 92-93
Komentar
Posting Komentar